Ads Right Header

Buy template blogger

Merefleksi Konsep Pendidikan Ala Ki Hajar Dewantara


Pada akhir-akhir ini masyarakat dunia seakan efuria dengan berbagai terminologi berkelas  dan ikon kemajuan mengangkasa, semisal istilah Revolusi Industry 4.0, nano technology, society 5.0, dan istilah-istilah lainnya yang tak kalah mentereng sebagai jargon kemajuan global. Istilah tersebut bukan sebatas istilah tetapi mampu merasuk pada relung paling dalam bilik kehidupan aspek manusia termasuk ideologi. Seakan-akan keberhasilan kehidupan manusia disimplikasi dengan jargon-jagon kemajuan teknologi dan menghilangkan jati diri dan orisinalitas pemikiran yang berakar dari masyarakat kita. Dampak luar biasa hal itu juga sama-sama kita rasakan pada dunia pendidikan yang ada di tengah-tengah kita. Nah, momen Hari Pendidikan Nasional yang jatuh pada hari ini (2 Mei 2020) sangat tepat apabila kita kembali menyegarkan ingatan kita pada konsep brilian tokoh pendidikan kita Ki Hajar Dewantara terkait Pendidikan Indonesia.

Kita tak akan mengulas siapa beliau Ki Hajar Dewantara karena sudah jelas beliau tokoh yang kita kagumi dan kita hormati dan setiap tahun tanggal kelahirannya kita peringati sebagai Hari Pendidikan Nasional. Nah, yang perlu digarisbawahi peringatan itu jangan hanya sebagai seremonial semata tetapi menjaga dan mengimplementasikan berbagai konsep pemikiran beliau jauh lebih penting.

Ki Hajar Dewantara berpendapat bahwa pendidikan sebagai upaya kebudayaan yang berazaskan keadaban untuk memberikan dan memajukan tumbuhnya budi pekerti (kekuatan batin, karakter), pikiran (intelek) dan tubuh anak yang selaras dengan dunianya. Tujuan utama pendidikan jelas, yakni membangun budi pekerti luhur dan menjadikan generasi bangsa memiliki daya pikir intelek.  Dalam konteks ini proses pendidikan tak dapat dilepaskan dari budaya luhur masyarakat Indonesia. Budaya sebagai sesuatu yang berdaulat dalam rangka mengarahkan generasi muda menjadi berkarakter sebagaimana nilai-nilai luhur yang ada di dalam budayannya. Bukan generasi muda yang tumbuh dan berkembang berdasar pada kebudayaan antah berantah yang terkadang malah menepikan budaya sendiri. Generasi muda sudah seyogyanya mendapat pendidikan yang berazaskan kebangsaan dan menuju ke arah prikemanusiaan sebagaimana salah satu azas dalam Taman Siswa.

Apabila  proses pendidikan berhimpitan dengan teknologi, teknologi bukan sebagai tujuan atau media utama. Akan tetapi teknologi harus ditempatkan sebagai medium untuk memperkuat tujuan pendidikan dan memajukan serta mengembangkan kebudayaan sebagaimana yang digariskan oleh Ki Hajar Dewantara sehingga pendidikan Indonesia tidak menghasilkan anak bangsa yang tercerabut dari budayanya. Dengan demikian, Ki Hajar Dewantara juga menghendaki kebudayaan kita bukan sebagai kebudayaan yang statis. Kebudayaan juga harus didorong untuk berkembang sesuai semangat zaman dan mampu memenuhi kebutuhan masyarakat. Pendidikan dapat dikatakan berhasil jika dapat menghasilkan generasi muda yang berakhlak mulia dan senatiasa menjunjung tinggi nilai luhur budayanya.

Keberhasilan pendidikan pada saat ini dimitoskan hanya dapat dituju dengan bersekolah. Dengan kata lain membangun generasi muda menjadi berintelek dan berbudaya seakan-akan tanggung jawab penuh pihak sekolah (formal). Pemahaman ini kian diperkuat dengan berbagai kemasan program sekolah (utamanya sekolah non-pemerintah) yang menawarkan program sekolah full day sehingga durasi waktu generasi muda di sekolah lebih panjang daripada di tempat lain. Di sisi lain  fenomena ini mendorong orang tua dan masyarakat  seakan-akan lepas beban dari mendidik generasi muda. Pendek kata, baik-tidaknya generasi muda pasrah bongkoan pada sekolah. Fenomena tersebut tak sepenuhnya tepat dan efektif dalam rangka mendidik generasi muda Indonesia.

Ki Hajar Dewantara menekankan keberhasilan pendidikan generasi muda secara komprhensif harus melibatkan tiga komponen utama yang diistilahkan dengan Tri Pusat Pendidikan. Pertama, Keluarga sebagai satuan terkecil dalam masyarakat yang harus dimaksimalkan  perannya dalam rangka mentransfer berbagai nilai sosial yang luhur bagi generasi muda. Dari keluarga generasi muda mendapatkan pemahaman nilai budaya, keagamaan, sopan santun, adat istiadat, kebiasaan-kebiasaan, dan tata nilai yang lain. Keluarga sebagai peletak pondasi yang digunakan oleh generasi muda mengkonstruksi berbagai proses budaya selanjutnya. Kedua, sekolah atau keguruan memerankan peranan dalam rangka memberikan kecerdasan pemikiran sekaligus ilmu pengetahuan sehingga antara sekolah dengan keluarga harus bersinergi. Pada umumnya generasi muda Indonesia menikmati waktu di sekolah kurang lebih 8 jam atau sepertiga waktu sehari yang dimilikinya sehingga pihak sekolah harus memanfaatkan durasi tersebut tidak hanya memberi ilmu tetapi juga mengambil peran lebih dari itu. Karena jika sekolah hanya  berperan sebagai pemberi ilmu, niscaya pengaruh terhadap generasi muda tidak akan terasa. Sekolah berperan sebagai pengawal keluarga dalam memberikan pendidikan dan pengajaran kepada generasi muda. Sekolah sebagai jejak kelanjutan dari hal yang telah diberikan di dalam keluarga terhadap generasi muda. Ketiga masyarakat. Sudah hal kodrati manusia tidak hidup sendiri karena pada dirinya melekat ketergantungan pada subjek lain yang lazim disebut masyarakat atau sosial. Oleh karena itu lingkungan sosial juga menjadi elemen penting dalam irisan keberhasilan tujuan pendidikan.

Masyarakat bukan sekadar akumulasi jumlah individu melainkan sebagai repersentasi realitas kehidupan sehingga iklim yang ada di dalam masyarakat mempunyai pengaruh yang dominan terhadap perkembangan individu. Kondisi dan situasi masyarakat yang linier dengan yang dikembangkan di keluarga dan sekolah akan menghasilkan karakter generasi muda yang bulat. Sederhananya, jika di keluarga dipupuk rasa religius (tertib sholat lima waktu, bagi yang muslim), di sekolah juga ditertibkan hal yang sama, dan di masyarakat situasi religius masih didapatkannya maka akan terbentuk keimanan yang kuat pada diri generasi muda.  Dalam konteks pendidikan, ketiga elemen tersebut menjadi sesuatu yang koeksistensi bukan spasial sehingga generasi muda benar-benar merasakan hasil proses pendidikan yang ditempuhnya.

Pemahaman yang ditanamkan Ki Hajar Dewantara masih sangat relevan untuk mengatasi permasalahan pendidikan kita saat ini. Pada saat ini kita merasakan pendidikan kita tak tahu berlabuh ke mana karena salah satunya disebabkan terlampau permisif serta silau dengan kemajuan teknologi yang juga membawa dampak negatif secara idelogi. Juga  masuknya budaya antah brantah dalam sistem pendidikan yang pengaruhnya cukup runyam bagi generasi muda. Sudah saatnya pendidikan Indonesia kembali ke track-nya. Pendidikan bagi generasi muda Indonesia harus dikembangkan dengan tata nilai luhur budaya Indonesia yang kita yakini sebagaimana anjuran Ki Hajar Dewantara. Pendidikan generasi muda Indonesia jangan direcoki dengan budaya yang kontradiktif dengan budaya kita, yakni budaya yang beranak kapitalistik, liberalis, sosialis, individualistik, dan psedufanatik. Budaya kita adalah ramah tamah, gotong royong, kekeluargaan, toleransi, dan saiyeg saeko proyo, serta jika kita dicubit sakit, jangan mencubit.

Oleh: Bakti Sutopo*

*) Penulis Lokal Pacitan
Previous article
Next article

Leave Comments

Post a Comment

Ads Post 4