OPINI
Gerakan 30 September dan Sejarah yang Belum Tuntas
Reformasi tanda kebebasan bernarasi. Termasuk juga, sejarah mendapatkan lebih banyak ruang untuk kembali memunculkan narasi-narasi kebenarannya setelah selama dasawarsa lebih kebenaran sejarah dimonopoli oleh Rezim Otoriter.
Gerakan 30 September tentu saja menjadi bagian Sejarah Orde Baru yang sampai kini menyisakan tanda tanya besar. Diskusi baru dan buku-buku diterbitkan untuk merumuskan ulang kebenaran sejarah. Memang pelik, apalagi sejarah yang didalamnya terdapat konflik politik. Narasumber sejarah dengan mudahnya bicara sesuai kepentingan politiknya yang subjektif. Hal itu semakin memperkuruh kehendak objektif mencari kejernihan sejarah.
Siapakah dalangnya?
Partai Komunis Indonesia
Rezim Orde Baru sepakat bahwa PKI yang bertanggung atas tragedi tersebut. Bahkan sampai sekarang pun perspektif Orde Baru masih menguasai opini publik. Diawali dengan buku yang ditulis oleh sejarawan Nutosusanto dan Ismail Saleh berjudul Tragedi Nasional Percobaan Kup G30S/PKI di Indonesia (1968). Kemudian dibuatlah film penghianat G30S/PKI yang mengambil referensi dari buku tersebut. Ditambah lagi, pemerintah Orba membuat buku putih yang kemudian dijadikan pengajaran dalam pendidikan sejarah selama Orde Baru berkuasa. Oleh karenanya keterangan sejarah berbunyi G30S/PKI yang seolah-olah menegaskan bahwa PKI adalah satu-satunya dalang dalam tragedi tersebut.
Akibat yang buruk diterima oleh PKI. Pembunuh massal terjadi dan ribuan simpatisanya ditahan tanpa melalui proses pengadilan. Tidak berhenti, anak keterunan PKI harus menanggung dendam politik. Sebagian besar mereka diperlakukan diskriminatif, dilarang bekerja dalam posisi strategis seperti Guru, PNS, Polisi dan Tentara.
Soeharto
Versi ini berdasarkan pada kecurigaan Soeharto sebagai panglima Kostrad dan Jendral yang namanya tidak terdaftar sebagai Jendral yang diculik. Kecurigaan ditambah dengan bertemunya Soeharto dengan tokoh ketiga pemimpin G30S yakni Kolonel Latief.
Dalam pledoi Kolonel A. Latief : Soeharto terlibat G30S (1999) menyatakan bahwa dia melaporkan pada Soeharto dua hari sebelum gerakan terjadi. Bahkan pada malam hari 30 September 1965 Kolonel tersebut melaporkan kembali kepada Soeharto bahwa operasi menggagalkan kok 9 rencana kudeta Dewan Jendral akan dilakukan. Menurut Latief, Soeharto tidak melarang ataupun mencegah gerakan itu.
Narasumber kedua datang dari Soebandrio, seorang mantan kepala Badan Pusat Intelijen. Ia menyatakan bahwa Soeharto memiliki niat untuk menggulingkan pemerintah. 1 Oktober 1965 sampai 11 Maret 1966 adalah rangakian tahap-tahap kudeta Soeharto kepada Soekarno. Mulai dari penyingkiran Jendral saingan Soeharto, Pembubaran PKI (basis kekuatan Soekarno), Menangkap 15 Menteri yang setia pada Soekarno.
CIA (Dinas Intelijen Amerika Serikat)
Kejadian politik dalam negeri tidak bisa dilepaskan dengan pertikaian geopolitik dunia saat Perang Dingin. Amerika Serikat berusaha agar ideologi komunis tidak tersebarluas ke seluruh dunia, termasuk di Indonesia. Soekarno pada saat itu begitu dekat dengan PKI dan gerakan kiri lainya membuat Amerika Serikat menyiapkan berbagai sikap politiknya.
Intervensi Amerika Serikat melalui CIA dinyakan dalam berbagai sumber. Diantaranya, sebuah karya wartawan belanda bernama Willem Oltmans berjudul Di Balik Keterlibatan CIA : Bung Karno Dikhianati (2021). Selain itu, sejarawan Baskara T. Wardaya mengungkapkan inti yang sama pada buku Bung Karno Menggugat : Dari Marhaen, CIA, Pembantaian Massal '65 hingga G30S (2006).
Sumber lain datang dari kesaksian Peter Dale Scott, Profesor University Of California dalam bukunya berjudul
CIA dan Penggulingan Soekarno (2004).
Soekarno
Sebagai aktor penting dalam peristiwa bersejarah tersebut. Nama Soekarno tidak luput dari kecurigaan atas tudingan sebagai dalang tragedi G30S. Penafsiran sejarah ini terdapat dalam buku yang berjudul Soekarno File yang ditulis oleh Antonie C. A. Dake. Selain itu sumber tuduhan itu datang juga dari buku Anatomy of the Jakarta Coup karangan Victor M. Fic.
Dengan diterbitkan buku yang menjadikan Soekarno sebagai dalang atas tragedi bedarah tersebut. Yayasan Bung Karno menulis buku berjudul Bung Karno difitnah sebagai sanggahan atas tuduhan tersebut. Selain itu, keluarga Soekarno protes keras terhadap buku Soekarno File dengan menyebutnya sebagai pembunuhan karakter terhadap Sokarno.
Konflik Internal Angkatan Darat.
Versi sejarah ini diungkapkan oleh Benedict Anderson dan Ruth McVey. Kedua sejarawan tersebut mengatakan bahwa tragedi G30S adalah puncak konflik dalam tubuh Angkatan Darat. PKI bukanlah dalang karena posisinya yang sudah startegis dalam pemerintahan sehingga tidak memungkinkan untuk melakukan kudeta.
Sejarawan Harold Crouch dalam Army and Politics in Indonesia (1978) menyatakan bahwa pada tahun 1965, staf Umum Angkatan Darat terpolarisasi menjadi dua kubu. Kedua kubu tersebut sama-sama berseteru dengan PKI, akan tetapi berbeda sikap atas Soekarno.
Kubu pertama yang loyal kepada Soekarno namun menentang kebijakan persatuan nasioanal karena di dalamnya terdapat PKI. Kubu ini dipimpin oleh Letjen TNI Ahmad Yani.
Sedangkan kubu kedua yang didalam ada Jendral A.H. Nasution dan Mayjen Soeharto bersikeras menentang Ahmad Yani yang berafiliasi dengan Soekarnoisme. Menurut versi ini, G30S tidak lain adalah upaya kubu kedua untuk menyingkirkan kubu pertama sebagai jalan penggulingan kekuasaan dengan dalih menyelamatkan Soekarno dari kudeta.
Lantas versi manakah yang benar?
Sungguh kesimpulan terburu-buru jika membenarkan salah satu versi sejarah. Yang perlu diingat selalu adalah, bahwa kebenaran sejarah tidaklah absolut. Apa yang kita terima sekarang bisa jadi berubah karena ada bukti yang valid untuk menggugurkanya. Jika orang-orang dahulu percaya bahwa PKI yang menjadi dalang tunggal, kini orang-orang mulai tersadarkan bahwa kebenaran harus kita rumuskan ulang.
Kita semua harus belajar bahwa pembekuan terhadap kebenaran adalah akar dari berbagai pertikaian.
Genosida dan pelanggaran HAM pada masa Orde Baru adalah akibat dari monopoli narasi sejarah. Oleh karena itu narasi sejarah harus senantiasa dicerna dengan kritis. Ruang-ruang perspektif harus diperluas supaya sejarah mampu bergerak bebas menjadi guru peradaban. Tanpa belajar sejarah orang-orang dengan mudah menjadi hakim atas klaim kebenaran diri sendiri. G30S harus kita peringati sebagai luka sejarah dan juga pembelajaran sejarah bangsa.
Daftar Pustaka :
https://historia.id/politik/articles/lima-versi-pelaku-peristiwa-g30s-DWV0N
Oleh: Yusuf Mukib*
*) Penulis adalah mahasiswa aktif Pendidikan Sejarah STKIP PGRI Pacitan
**) Penulis bertanggung jawab penuh dengan seluruh isi tulisan yang dimuat di dalam postingan ini
Previous article
Next article
Leave Comments
Post a Comment